Jakarta (ANTARA) – Penemuan nisan berukir dan bertuliskan nama “Sultan” di Provinsi Banten, baru-baru ini membuka jalan bagi terobosan upaya penulisan ulang sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Menurut Sariat Arifi, peneliti dan penulis kitab “Fatahilah”, prasasti bertuliskan nama “Sultan Mahmud bin Sultan” di batu nisan tersebut, bertanggal abad 16-17. abad, benar-benar merupakan bukti arkeologis.
Bukti arkeologis yang ditemukan di makam Sultan Maulana Yusuf ini merupakan penemuan pertama meski nama sultan pernah disebutkan dalam sejarah masyarakat di Banten dan tempat lain di Pulau Jawa, ujarnya.
Oleh karena itu, ditemukannya prasasti bertuliskan nama “Sultan Mahmud bin Sultan” yang terbaca pada batu nisan tersebut dapat dianggap sebagai “peristiwa bersejarah”, ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Arifia mengklaim, penemuan ini merupakan hasil penting dari upaya bersama para sejarawan dan pecinta sejarah dari berbagai kalangan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut antara lain Tim Sejarah “Fatahillah” dari Cikande, Penggiat Sejarah Aceh – Masiarakat Peduli Histori Aceh (Mapesa), Klinik Pusaka Banten – Klinika Pusaka Banten, Yayasan Lavang Agung dan Keturunan Kerajaan Sultan Banten Maulana Yusuf – Dzuriyat Sultan Maulana Yusuf.
Munavir, seorang ahli kaligrafi dan anggota Mapesa, membacakan prasasti tersebut dengan temuan sebagai berikut: Di mahkotanya tertulis “kalimat Tauhid dan Sultan Mahmud bin Sultan”. Baris pertama tubuhnya bertuliskan “Muhammad bin Sultan Yusuf”, sedangkan baris kedua bertuliskan “bin Sultan”, dan baris ketiga tubuhnya tidak bisa lagi terbaca karena kondisinya yang memprihatinkan.
Namun untuk melengkapi pembacaan baris ketiga, Ariya Purbaja yang juga anggota Mapesa yakin bahwa itu adalah “Hasanuddin”, meskipun karena keadaan batu tersebut, huruf “nun” belum sempurna untuk dibaca, bantah Arifia.
Terlepas dari persepsi masyarakat bahwa Hasanuddin adalah sultan pertama Banten, upaya memperbaiki kondisi terkini dari batu nisan yang ditemukan tersebut dapat membantu para sejarawan mendapatkan bukti sejarah yang lebih komprehensif.
Untuk itu, perlu dilakukan pelestarian khusus terhadap batu nisan tersebut agar para sejarawan dapat membaca prasasti tersebut secara lebih komprehensif, ujarnya seraya menambahkan bahwa prasasti tersebut sejauh ini tercatat sebagai prasasti pertama yang memuat nama “sultan” di Pulau Jawa.
Arifia melanjutkan, batu nisan tersebut sudah dalam pengawasan ketat karena kompleks pemakaman ini telah dikunjungi sebanyak 13 kali dalam tiga tahun terakhir terkait proyek penelitian Fatahillah miliknya.
Bersama tim penikmat sejarah, ia mengumpulkan data dan membaca prasasti batu nisan kuno di Pulau Jawa, mulai dari Malik Ibrahim di Jawa Timur hingga Sultan Mahmud di Banten, klaimnya.
Menurut Arifia, di Banten ia bersama tim kerap memetakan tipologi dan membaca prasasti. Dia bisa memastikan, di batu nisan Banten rupanya terdapat tulisan “Sultan Mahmud”.
“Setelah empat tahun penggalian Claude Gillot, kami juga melakukan proyek penelitian mendalam tentang Fatahilah di Banten,” ujarnya.
Merujuk tulisan João Da Barros dalam “Decades of Asia” yang menggambarkan kedatangan Fatahilah di Banten, Fatahilah disebutkan berasal dari Pasai (di Provinsi Aceh).
“Dalam konteks ini, kami mempelajari seluruh batu nisan yang bertipologi Pasai/Aceh di Banten, dan keterkaitan Pasai atau yang sekarang disebut Aceh dengan Banten, serta keterkaitannya dengan Cirebon di Jawa Barat, dan wilayah lain di Jawa, baik pesisir utara maupun selatan. , “katanya. dia.
Kajian-kajian tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk memungkinkan dirinya dan para sejarawan lainnya menyikapi fakta “kolonisasi sejarah”.
Ia mengaku sangat terpacu untuk menulis ulang sejarah bangsa ini bebas dari pemalsuan dan distorsi catatan sejarah yang dilakukan penjajah.
Sementara itu, Tubagus Safarudin (Sultan Plituk), Ketua Dzurriyat Panembahan Maulana Yusuf, mengapresiasi penemuan batu nisan berukir dan bertuliskan nama “Sultan Mahmud bin Sultan” baru-baru ini.
Ia mengklaim penemuan tersebut bisa mengungkap “selubung kegelapan” yang sengaja diciptakan penjajah Belanda melalui Christian Snook Hurgronje untuk menyesatkan masyarakat selama beberapa ratus tahun.
“Cerita palsu, yang sudah tertanam dalam komunitas kita, telah ada selama 500 tahun.” Jadi saya sangat bersyukur atas penemuan ini,” ujarnya.
Safarudin meminta instansi pemerintah terkait, khususnya Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), segera mengambil tindakan menindaklanjuti penemuan tersebut mengingat dampak positifnya bagi sejarah Indonesia.
Mizuar, Presiden Mapes, pun berbagi kebahagiaannya atas ditemukannya prasasti bertuliskan nama Sultan di Banten.
“Sepengetahuan kami di Mapesa, kami telah intensif mempelajari dan membaca prasasti nisan tokoh-tokoh Islam terkenal di Aceh. Khusus untuk batu nisan di Banten ini, saya mengajak Arifia untuk mengkajinya secara mendalam. Adapun Banten penemuan, itu satu-satunya nisan yang ada tulisan 'sultan' di Jawa selama ini,” ujarnya.
Penemuan ini, yang tampaknya mengungkap usia kebudayaan Islam di Jawa, mungkin akan dilanjutkan dengan proyek penelitian lebih lanjut dalam upaya mengungkap fakta tentang batu nisan banyak tokoh penting Muslim lainnya di masa lalu.
“Kami berharap dapat dibangun hubungan yang lebih erat di kalangan sejarawan dan pecinta sejarah di Indonesia untuk mengintensifkan kajian historiografi Islam,” ujarnya.
Penemuan nisan Sultan Mahmud pada batu nisan di Banten merupakan tonggak sejarah baru yang akan memperkaya peradaban Islam di Indonesia dan memperkokoh persatuan dalam melawan distorsi sejarah Indonesia oleh penjajah.
Proses pembersihan nisan Sultan Mahmud di makam Maulana Yusuf di Banten (Foto: Sariat Arifia)
Berita terkait: Sekilas Sejarah Banjarmasin Melalui Masjid Sultan Suriansiah
informasi turis
turis information,
tempat rekreasi di Indonesia